Pages

7 Mar 2011

"Berlaku Jujur: Menjauhi Bohong"


Oleh: Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.A
(Ketua PP Muhammadiyah)
(Foto: Tribun News.com)

اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, وَمَنْ تَبْعَ هُدَىهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ اِلاَّ اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً رَسُوْلُ اللهِ الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ.
فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْااتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

Kaum Muslimin Sidang Jumat yang berbahagia,
Marilah kita senantiasa bersyukur ke Hadirat Allah S.W.T yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Kemudian shalawat dan salam semoga dilimpahkan Allah kepada Nabi Besar Muhammad S.A.W dan kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya dan siapa saja yang mengikuti sunnah beliau sampai akhir nanti.
Rasulullah saw bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَ إِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ.
“Hendaklah kamu semua bersikap jujur karena kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke syurga”.
Jujur atau al-sidqu yaitu benar baik dalam perkataan (shidq al-hadiist), janji (shidq al-wa’di), pergaulan (shidq al-muaamalah), maupun dalam sikap (shidq al-haal). Kita harus bersikap jujur, benar. Selanjutnya Rasulullah S.A.W mengingatkan:

إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ وَ إِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى الْنَّارِ.
“Hendaklah kamu menjauhi kebohongan karena kebohongan membawa kepada perbuatan dosa, membawa kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan ke dalam neraka”.
Pada suatu ketika Rasulullah S.A.W ditanya oleh seorang sahabat:
“Katakanlah kepadaku wahai Rasulullah, Bisakah seorang mukmin itu penakut? Rasul menjawab: bisa. Ditanya lagi, bisakah orang mukmin itu kikir, pelit? Rasul menjawab: bisa. Ditanya lagi: bisakah seorang mukmim itu pendusta. Rasul menjawab: tidak.
Walaupun penakut dan kikir adalah sifat tercela, Rasulullah S.A.W masih mentolerir dan tidak menafikan iman orang tadi. Tapi saat ditanya apakah bisa mukmin itu pendusta Rasulullah S.A.W menjawab tidak.
Oleh sebab itu di dalam Ilmu Hadits salah satu syarat hadits itu bisa diterima adalah apabila perawinya orang tsiqqah / tsaabit : orang yang dapat dipercaya, dan apabila perawinya bersifat adil (‘uduul, ‘adaalah).
Pengertian adil dalam Ilmu Hadits berbeda dengan adil dalam Ilmu Hukum. Adil dalam Ilmu Hadits adalah tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil.
Salah satu dosa besar yang merusak ke-adil-an (‘adaalah) seorang perawi adalah berdusta. Oleh sebab itu jika sebuah hadits diriwayatkan oleh seorang perawi yang pendusta maka haditsnya ditolak, dinyatakan dhaif dalam kategori munkar, nama haditsnya disebut Hadits Munkar. Tapi kalau perawinya itu hanya dituduh berdusta (muthamun bilkadzib) maka haditsnya tetap ditolak, status haditsnya matruk, ditinggalkan. Nama haditsnya disebut Hadits Matruk. Jadi seorang perawi itu harus benar-benar orang yang bukan pendusta dan tidak ada seorang pun yang menuduh dia  sebagai pendusta.

Kaum Muslimin Sidang Jumat yang berbahagia,
Suatu saat Imam Bukhari dalam perjalanannya meneliti hadits (proses kodifikasi awal) dari satu negara ke negara lain, untuk ukuran sekarang, atau pada waktu itu dari satu propinsi ke propinsi lain, dan dari satu kota ke kota lain. Imam Bukhari bisa menempuh perjalanan berhari-hari menaiki unta hanya untuk meneliti satu hadits.
Suatu ketika, sampailah beliau di rumah seorang perawi hadits,  yang kebetulan waktu itu sedang sibuk dengan kudanya. Rupa-rupanya kuda si Perawi lari, ingin kabur. Dia panggil-panggil kuda itu sambil membawa sebuah ember ditangannya. Imam Bukhari menyapanya dan  bertanya: “Apa yang sedang engkau lakukan?” Si Perawi menjawab: “Saya sedang membujuk kuda itu agar kembali. Bagaimana caranya? Dengan memperlihatkan ember ini. Kata si Perawi. Apa isi ember itu? Tidak ada isinya. Jadi, si perawi tadi hanya pura-pura akan memberikan makanan pada kuda itu. “Oh, begitu ya, terimakasih”. Lalu Imam Bukhari pamit. Sesampainya beliau dirumah, beliau coret nama orang tadi sebagai perawi hadits yang tengah ditelitinya. Dan Imam Bukhari mengatakan: “Saya tidak akan pernah percaya dengan orang yang berbohong kepada kudanya”.
Berbohong kepada kuda saja sudah ditolak oleh Imam Bukhari dan dianggap tidak layak menjadi perawi hadits. Sekiranya saja sekarang Imam Bukhari menjadi anggota DPR misalnya, kemudian beliau menjadi petugas fit and proper test, saya kira tidak ada seorang pun yang akan lolos dari seleksi Imam Bukhari.
Jangankan berbohong kepada istri, berbohong kepada murid dan mahasiswanya, berbohong kepada masyarakat dan rakyatnya, berbohong kepada seekor kuda pun ditolak oleh Imam Bukhari. Memang banyak sekarang orang yang bernama Bukhari, tetapi sama sekali tidak sama dengan Imam Bukhari.
Sebenarnya para ulama menasihatkan kepada kita agar jangan berbohong untuk pertama kali. Jadi yang dilarang hanya berbohong untuk yang pertama kali. Mafhumnya, kalau anda tidak berbohong untuk yang pertama kali maka tidak akan ada bohong yang kedua, tidak akan ada bohong yang ketiga dan setreusnya. Tapi kalau anda bohong satu kali saja maka akan ada bohong kedua, ketiga dan seterusnya untuk menutupi kebohongan yang pertama.
Contoh kasus misalnya, kita membuat suatu perjanjian dengan seorang teman untuk bertemu pada hari, jam dan tempat yang telah ditentukan. Pada saatnya tiba, ternyata teman tadi tidak datang. Kemudian besok kita tagih dia, kita tanya kenapa dia tidak datang? Kalau saja dengan jujur dia menjawab: ”Wah maaf saya ingkar janji” misalnya, mungkin kita akan segera memaafkannya. Tapi dia tidak mau jujur, misalnya. Maka mulailah dia berbohong “Wah maaf ya kemarin saya sakit” berbohong satu kali. Kita tanya lagi sakit apa? “Badan saya panas” berbohong dua kali. Kita tanya lagi sudah dibawa ke dokter atau belum? ”Sudah”, berbohong tiga kali. Dokter mana? “Dokter Rumah Sakit PKU”. Siapa dokternya? “Dokter Iqbal”. Apa kata dokter? Periksa darah atau tidak? obatnya berapa? Dan seterusnya. Sebelum kita berhenti bertanya ia tidak akan berhenti berbohong. Oleh karena itu bohong akan mempunyai anak, mempunyai cucu dan cicit.
Karenanya sebagaimana yang dinasihatkan para ulama tadi: “Jangan berbohong untuk yang pertamakali”. Apalagi kalau kemudian bohong menjadi sebuah kegemaran. Jikalau bohong sudah menjadi sebuah kegemaran maka pada orang yang seperti itu melekat suatu sifat dari sifat munafik. Seperti yang disabdakan Rasulullah S.A.W:

أَيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَاتُؤْمِنَ خَانَ.
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara ia berdusta. Jika berjanji ia ingkar dan jika diberikan kepercayaan ia berkhianat”.

Kaum Muslimin Sidang Jumat yang berbahagia,
Maka marilah kita mulai dengan diri kita sendiri untuk bertekad akan selalu jujur, berkata benar, bertindak benar dan samasekali menjauhkan diri dari kebohongan. Dan mari kita perluas, kita tularkan kejujuran itu kepada keluarga kita. Insya Allah kalau kejujuran ini bisa dikembalikan kepada bangsa ini, kita masih punya harapan Indonesia masih bisa diperbaiki. Tapi kalau kebohongan masih ditutupi dengan kebohongan-kebohongan lainnya maka tentu kita tidak akan bisa memperbaiki keadaan yang karut-marut seperti sekarang ini.
  
اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ, نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَريْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْااتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Kaum Muslimin Sidang Jumat yang berbahagia,
Marilah kita selalu meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah S.W.T dengan mengerjakan segala perintah-Nya, meninggalkan segala larangan-larangan-Nya dan mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya. Semoga Allah memberikan kepada kita hasanah di dunia ini dan hasanah di akhirat nanti dan Allah menjauhkan kita dari adzab api neraka.

إِنَّ اللهَ وَمَلَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ, يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَلَّلهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اَلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اَلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا, وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَات, وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَات, اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَات, وَجَمِيْع أَعْمَالِنَا بِرَحْمَتِكَ يَا مُجِيْبَ السَّائِلَات. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَصِيَامَنَا, وَسُجُوْدَنَا وَرُكُوْعَنَا, بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْئَلُكَ سَلاَمَةُ فِى الدِّيْنِ, وَعَافِيَةُ فِى الْجَسَدِ, وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ, وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ, وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ, وَرَحْمَةُ عِنْدَ الْمَوْتِ, وَ مَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ. اَللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِى سَكَارَةِ الْمَوْتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْئَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا, وَ قَلْبًا خَاشِعًا, وَ رِزْقًا حَلَالًا طَيِّبًا, وَشِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ وَ سَقَمٍ. رَبَّنَا اَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَة وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا. رَبَّنَا هَبْلَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَ ذُرِّيَّتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا. رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَىنَةً وَفِى الْأَخِرَةِ حَسَىنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ, وَأَدْخِلْنَا الْجَىنَّةَ مَعَ الْأَبْرَارِ. يَا عَزِيْزُ, يَا غَفَّارُ, يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ, وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَأَقِمِ الصَّلَاةَ! 

Masjid Syuhada,Yogyakarta 28 Januari 2011


Penyunting:
Cucu Cahyana
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
       

0 komentar:

Posting Komentar