oleh: Cucu Cahyana*
“Manusia yang sebelumnya bodoh atau tidak memiliki semangat belajar sama sekali harus di daur ulang supaya memiliki motivasi belajar dan bermanfaat bagi sesamanya” (Ken Kawan Soetanto)
Pertengahan tahun 2009 saya menjalani Praktek Pengalaman Lapangan-Kuliah Kerja Nyata (PPL-KKN) di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri di Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta. Madrasah yang terletak sekitar 15 km dari puncak Merapi ini berada di lingkungan yang cukup nyaman untuk kegiatan belajar-mengajar. Dilingkupi pepohonan yang rindang, udara yang sejuk dan tentunya terhindar dari suara bising kendaraan bermotor. Meski demikian, ternyata masayarakat sekitar masih memandang sebelah mata (kualitas) madrasah ini. Demikian menurut penuturan Kepala Madrasah dan Wakil Kepala Bidang Kesiswaan. Sekolah-sekolah umum tetap menjadi pilihan utama.
Harus diakui bahwa sebagian besar masyarakat menempatkan madrasah (tidak hanya bagi madrasah tersebut) sebagai pilihan “ke-sekian” bagi anak-anaknya menimba ilmu. Alasannya klasik, ijazah madrasah “kalah nilai” dibandingkan ijazah sekolah umum. Berkembangnya anggapan seperti ini, membuat madrasah terjebak pada lingkar area yang kurang menguntungkan (negative circle).
Implikasi sebagai pilihan “ke-sekian”, madrasah memperoleh input siswa yang grade-nya di bawah rata-rata. Input yang seperti ini selanjutnya berpengaruh pada kinerja guru sebagai pendidik. Mendapati siswa yang tidak memiliki semangat belajar, susah memahami pelajaran, gaduh dan tidak memerhatikan saat belajar biasanya menjadikan guru kehilangan pula semangat mengajarnya atau mengajar dengan seadanya, tanpa merasa perlu untuk memahamkan pelajaran kepada siswa. Dan pada akhirnya output madrasah kalah jauh dibandingkan sekolah-sekolah umum favorit. Dengan output yang seperti ini maka negative circle akan terus membelenggu madrasah. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk memutus negative circle ini?
Kondisi seperti ini pernah dijumpai Ken Kawan Soetanto (seorang WNI yang menjadi Guru Besar dan pemegang rekor peraih empat gelar doktor sekaligus di Jepang). Namun, Sang Profesor tidak menjadi keder dan kehilangan daya juang dalam mendidik. Beliau meyakini bahwa pendidikan itu sejatinya adalah menggali kemampuan / kepintaran diri setiap orang termasuk orang yang kehilangan semangat belajar. Bagi beliau semuanya serba mungkin. Sebagaimana moto hidupnya “kalau dicoba pasti bisa”. Moto ini pula yang ditularkan kepada para mahasiswanya.
Sang Profesor seolah tengah 'dipaksa' melakukan proses daur ulang. Mahasiswa yang tadinya ‘buangan’ dari universitas favorit ia harus rubah sedemikian rupa. Yang beliau lakukan pertamakali tentu adalah ia sendiri yakin bahwa dia bisa merubah keadaan itu. Ia yakin mahasiswanya bisa semangat dalam belajar, proaktif dalam perkuliahan dan berprestasi di kemudian hari. Alih-alih ia yang patah semangatnya (sebagaimana umumnya tenaga pendidik di negeri ini) mahasiswanya kini menjadi rebutan perusahaan-perusahaan besar di Jepang. Tindakan seperti ini kiranya patut dicontoh oleh guru-guru di madrasah atau di sekolah-sekolah yang menjadi sekolah penampung ‘siswa buangan’. Daur ulang siswa? cobalah!
* Pengajar Bahasa Arab di SMP IT Masjid Syuhada dan Pendidikan Kader Masjid Syuhada Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar